Isu naiknya harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus tengah menjadi perbincangan hangat para penikmat rokok di Indonesia. Ketidakpastian fakta yang ada begitu menggambarkan bagaimana masyaraka Indonesia lebih suka terhadap rumor tidak jelas dibandingkan mencari fakta.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan telah menegaskan bahwa belum ada keputusan untuk menaikkan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus. Berikut pernyataan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam Fanpage Facebook resminnya:
Jadi melalui pernyataan tersebut sudah jelas bahwa isu kenaikan harga rokok masih merupakan rumor belaka. Berbicara soal kenaikan harga rokok, pasti dikaitkan dengan kenaikan tarif cukai. Oleh karena itu, tidak ada salahnya untuk memahami lebih jelas tentang cukai rokok di Indonesia dan mengapa cukai rokok begitu menjadi primadona negara.
Apa itu cukai?
Cukai sendiri merupakan pungutan atau pajak yang dikenakan oleh negara terhadap barang-barang yang memiliki karakteristik dan sifat tertentu. Cukai pun telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai.
Adapun karakteristik barang yang dimaksud adalah, konsumsi yang perlu dikendalikan, peredaran yang diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif, dan pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Jika dikaitkan dengan rokok yang memiliki empat karakteristik yang dimaksud, maka cukai rokok merupakan pajak yang dikenakan oleh pemerintah dengan tarif tertentu. Dengan begitu, pihak pemerintah mendapatkan pendapatan dari cukai tersebut.
Cukai rokok di Indonesia
Cukai rokok memang merupakan primadona di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana penerimaan negara dari pungutan cukai rokok yang berkembang. Lihat saja grafik perkembangan penerimaan negara dari pungutan cukai rokok dari tahun 2007 hingga 2013 berikut:
Dilansir dari Kompas, tahun kemarin saja rokok merupakan penyumbang terbesar pendapatan cukai senilai Rp 139,5 triliun dari total pendapatan cukai negara sebesar Rp 144,6 trilliun. Dari data ini, layak saja bila cukai rokok lantas menyandang predikat primadona negara.
Namun pada tahun ini terdapat penurunan pendapatan dari cukai rokok hingga 67 persen. Hal ini dikarenakan pemerintah telah menaikkan tarif cukai rokok serta tarif PPN produk tembakau pada awal tahun 2016.
Akankah cukai rokok tetap menjadi primadona kedepannya?
Saat ini kenaikan harga rokok memang hanya rumor. Namun pada tahun 2017 nanti, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementrian Keuangan bakal benar-benar menaikkan tarif terhadap cukai rokok.
Dilansir dari Finance Detik, kenaikan tarif cukai rokok akan mencapai 10%. Heru Pambudi selaku Dirjen Bea Cukai menyatakan bahwa kebijakan baru tersebut akan diumumkan secepatnya paling tidak tiga bulan sebelum tahun 2016 berakhir.
“Pengumumannya saya harap secepat mungkin dan kita diharapkan di tiga bulan akhir tahun ini. Supaya ada persiapan bagi semua pihak bagi kita yang menyiapkan pita cukai, administrasinya atau mereka menyiapkan harga jualnya kemudian tentunya masyarakat perokok,” ujar Heru.
Melihat kebijakan yang akan dibuat tersebut, tentu kedepannya cukai rokok kemungkinan tidak mendapatkan predikat sebagai primadona negara lagi. Meskipun akan berdampak pada penurunan pendapatan dari cukai, ada dampak baik yang sebenarnya akan bisa timbul.
Dilansir dari CNN Indonesia, ketua Komisi Nasional Pengendalian tembakau, Tulus berkata bahwa tujuh puluh persen konsumsi rokok menjerat rumah tangga miskin. Jadi jika tarik cukai rokok naik maka kehadiran dampak positif bisa berupa alokasi uang yang biasa digunakan untuk rokok akan bisa digunakan untuk hal-hal lain seperti untuk pemenuhan gizi atau pendidikan anak bagi kalangan menengah ke bawah.
Selain itu, pihak pemerintah bisa menambahkan objek cukai baru untuk meningkatkan pendapatan. Seperti dari industri plastik, alkohol, dan lain sebagainya. Semoga saja pemerintah menciptakan kebijakan yang bisa lebih menguntungkan masyarakat, terutama terkait cukai rokok ini.

0 komentar:
Posting Komentar